Partner Links
Regina Adventures
Jasa Web
Elvis Kasmir
|
|
Nama Lengkap : H. Ian Hanafiah Pekerjaan : Director & CEO PT Ero TourBoleh saja Sumbar bermimpi mampu mengalahkan pariwisata Bali. Secara potensi objek wisata tak kalah dibandingkan Bali,Sumbar boleh dibilang daerah teraman di Indonesia saat ini. | |
| Namun, mewujudkan mimpi bukanlah perkara mudah di Sumbar. Banyak persoalan yang masih membelit upaya pengembangan pariwisata Sumbar. Selain persoalan anggaran, kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), komitmen pemerintah, serta keterlibatan dunia usaha. Di sinilah letak persoalannya, pengembangan pariwisata Sumbar seolah berjalan di tempat.
Tak ada objek wisata yang layak jual. Bahkan ada kecendrungan wisatawan, kalau sudah berkunjung mereka enggan kembali. Bagaimana Sekretaris Asosiasi Travel Agent Indonesia (Asita) Sumbar Ian Hanfiah melihat persoalan pawisata Sumbar? Berikut wawancaranya dengan wartawan Padang Ekspres, Rommi Delfiano dan Afrianingsih Putri di ruang kerjanya, Jumat (25/5) lalu.Bagaimana Anda melihat pengembangan sektor wisata Sumbar?
Kita akui komitmen pemerintah daerah untuk mengembangkan sektor pariwisata sudah terlihat Terbukti ditetapkannya sepuluh kawasan destinasi unggulan oleh pemerintah Sumbar. Namun, kalau hanya sekadar komitmen memang tidak cukup. Pengembangan pariwisata harus didukung dengan tindakkan yang konkret di lapangan. Sehingga terjadi perubahan yang signifikan di masing-masing objek wisata itu. Kondisi ini diyakini mampu menarik animo wisatawan untuk berkunjung ke objek wisata tersebut. Salah satunya pengembangan objek wisata water boom di Kota Sawahlunto.
Namun, kita melihat masih minim realisasi komitmen daerah itu. Terbukti belum terjadinya perubahan yang signifikan di objek-objek wisata yang ada. Umumnya objek wisata tersebut masih menyuguhkan keindahan yang itu-itu saja. Tak ada perubahan yang berarti. Harusnya kesepuluh daerah destinasi unggulan itu perlu dilakukan pembenahan yang signifikan. Sehingga benar-benar layak untuk dijual. Tapi seperti tadi, tetap saja tidak ada perubahan yang berarti.
Persoalannya sangat beragam. Tapi yang sering diutarakan akibat minimnya anggaran. Akibatnya daerah kesulitan untuk mengembangkan atau membenahi objek wisata. Padahal dalam pengembangan objek wisata, tak mutlak hanya akibat kekurangan dana. Terpenting perlu dijalin kebersamaan antara daerah, serta melakukan pembenahan dari persoalan-persoalan yang kecil-kecil. Apakah pengelolaan pariwisata harus diserahkan sepenuhnya pada pemerintah?
Pengembangan pariwisata bukan hanya tugas dari pemerintah. Tapi juga pelaku pariwisata itu sendiri. Karena pelaku wisata menjadi pelaksana di lapangan.Masih banyak yang harus dibenahi oleh pelaku pariwisata. Mental pelaku pariwisata juga harus jelas. Jangan mentang-mentang aji mumpung, pelaku pariwisata seenaknya. Misalnya, ketika hotel-hotel penuh, pengusaha hotel seenaknya menaikkan tarif. Karena akibat gempa sepi pengunjung, mereka menaikkan tarif ketika hotel kembali ramai.
Masak ada hotel yang bintang satu, tapi biaya seperti biaya bintang empat. Ini kan merusak citra.Apalagi ada pelaku pariwisata yang tidak tergabung dalam Arsita, tapi juga melayani tamu yang datang. Ini bisa merusak biro perjalanan. Pasalnya, mereka bergerak kerap tanpa didukung ilmu dan pengalaman dalam melayani tamu. Bisa-bisa akibat ulah segelintir oknum, bisa merusak sektor wisata Sumbar. Ini juga perlu diantisipasi semua kalangan.
Jangan nantinya, pemerintah dan masyarakat sudah sama-sama berkomitmen untuk mengembangkan sektor wisata, rusak akibat ulah segelintir orang.Sebenarnya apa persoalan mendesak dibenahi? Kalau berbicara yang kecil-kecil, banyak persoalan yang belum diselesaikan. Sebenarnya hal-hal yang kecil tersebut berpengaruh terhadap perbaikan sektor pariwisata. Misalnya, apakah di restoran selalu terjaga kebersihannya.
Ketika makan, apakah semua rumah makan menyediakan tissue di meja makan? Saat ini, bahkan masih ada restoran yang hanya meletakkan satu buah saputangan di atas meja. Kita saja melihatnya tidak berselera untuk mengelap tangan dengan sapu tangan itu. Apalagi mau mengelap mulut kita. Belum lagi cara penyajian, apakah dalam pengambilan makanan menggunakan plastik atau justru dengan tangan saja. Hal-hal kecil seperti ini patut diperhatikan.
Ini menjadi tanggup jawab siapa? Sebenarnya, kebijakan pemerintah memberikan andil yang besar untuk pengembangan pariwisata. Untuk masalah kebersihan makanan ini, harusnya dinas kesehatan memberikan perhatian kepada rumah makan yang ada ataupun penginapan. Salah satunya contoh penginapan di Kerinci, sangat ramai dikunjungi. Padahal penginapannya hanya kecil, tapi kebersihannya membuat pengunjung nyaman. Kita juga menyarankan itu ke sejumlah bupati/walikota. Tak usah bangun penginapan yang mewah, asalkan penginapan tersebut bersih.
Bagaimana dengan daerah yang memiliki kawasan wisata, tapi tidak disinggahi? Sebetulnya, pembenahan hal-hal spesifik belum dilakukan di kawasan tersebut. Misalnya, di Payakumbuh apa yang menjadi objek spesifik. Misalnya, rendang telur atau galamai. Harusnya di tata khusus tempat menyediakan hal-hal ini. Sehingga ada ciri spesifik yang dicari oleh wisatawan.
Rencananya, kita akan membuat perjalanan wisata tersebut dengan banyak menyinggahi di setiap tempat. Kita akan buat paket, perjalanan Padang-Bukittinggi bukan lagi tiga jam perjalanan, tapi satu hari. Setiap daerah sediakan paket-paket dengan ciri tersendiri. Di Padangpanjang bagaimana orang mau singgah ke Minangkabau Village. Kalau sekarang Minangkabau Village masih banyak bangunan yang belum termanfaatkan. Bagaimana ke depan Pemko mengisi bangunan kosong itu dengan aneka aktivitas yang bisa dijual.
Misalnya, menempatkan tukang sate, tenun, dan lainnya. Artinya kalau selama ini pengrajin itu menjalankan aktivitasnya di rumahnya masing-masing, tapi sekarang ditempatkan di dalam kawasan objek wisata Minangkabau Village. Pasti mampu memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kita akan menyokong kebijakan itu. Mungkin pengrajin itu disubsidi uang transportasinya, sehingga tidak memberatkannya. Selanjutnya bagaimana? Kita melihat pengembangan sektor pariwisata masih mengandalkan ego sektoral. Daerah-daerah saling berebut untuk menjadikan daerahnya sebagai tempat kunjungan wisata. Sejumlah upaya dilakukan untuk memperkenalkan atau mengenjot wisatawan datang ke objek wisata itu. Satu sisi upaya ini boleh dibilang baik, daerah mulai menyadari besarnya multiplier effect yang akan ditimbulkan, kalau sektor pariwisata berjalan dengan baik. Tentunya, dampaknya langsung dirasakan masyarakat.
Tapi persoalannya tidak sampai di situ. Karena tetap saja sektor wisata itu kurang berkembang. Selain minimnya anggaran, juga tidak seluruh daerah yang memiliki kemampuan dalam mengemas objek wisata itu.Intinya perlu dijalin koordinasi antara provinsi, kabupaten/kota. Misalnya saja, untuk promosi pariwisata. Memang masing-masing daerah sudah memiliki media promosi sendiri-sendiri, tapi kita melihat belum terkemas dengan baik.
Contohnya? Dari leaflet-leaflet atau sarana promosi yang sudah dibuat, umumnya belum layak jual. Alangkah baiknya untuk promosi itu langsung ditangani provinsi. Artinya dana-dana untuk promosi di daerah dikumpulkan menjadi satu di provinsi. Selanjutnya daerah mengirimkan objek-objek wisatanya yang layak jual ke provinsi.Nantinya provinsi mengemasnya, apakah berbentuk leaflet, brosur, cassette disc (CD) atau lainnya.
Kalau ini dilakukan, kita yakin sarana promosi yang dibuat lebih variatif dan layak jual. Apalagi kalau menjual pariwisata itu, seharusnya bukan lagi atas nama kabupaten/kota masing-masing saja. Tapi mestinya Sumbar. Kalau sekarang kan beda, masing-masing daerah menjual objek wisatanya. Padahal belum tentu daerah itu dikenal orang lain, paling-paling orang hanya mengenal Padang atau Bukittinggi.
Ke depan bagaimana? Kita harus optimistis objek wisata Sumbar memang layak jual. Tak usahlah kita bermimpi mengalahkan Bali. Tapi sekarang, bagaimana kita memoles objek wisata itu dengan hal-hal yang kecil. Contohnya Pantai Padang. Selaku icon wisata Padang, kita lihat banyak persoalan yang perlu dibenahi. Intinya, orang datang ke Pantai Padang bukan hanya sekadar melihat pantai saja, tapi juga disuguhkan dengan alternatif wisata lain.Misalnya, kita memberdayakan bendi wisata di sana.Kendati sekarang sudah ada di dekat gedung Dinas Pariwisata Padang. Tapi kalau kita lihat secara sekilas, belumlah bisa dianggap sebagai bendi wisata, karena bentuknya sama saja dengan bendi lainnya.
Artinya bisa saja Pemko bekerja sama dengan sponsor untuk menambah aksesoris bendi tersebut, sehingga berbeda dengan bendi lainnya. Tapi, untuk persoalan ini, Pemko harus bisa juga memberikan keringanan dengan tidak menarik pajak. Selain itu, bendi itu juga dituliskan tarifnya masing-masing, sehingga wisatawan tidak was-was menggunakan jasa transportasi tersebut. (***)
sumber: (padang ekspress)
|
posted by Elvis Kasmir at
9:02 PM
0 Comments:
|
|
About Me
Name: Elvis Kasmir
Location:
View My Profile
Previous Posts
Gebyar Paralayang Dimulai Maninjau Andalan Sumbar
Pengaman Pantai Padang Belum Memadai
Pemerintah harus ubah Konsep Pariwisata
Grup Hotel Bintang Lima di Dubai dan Qatar Tawarka...
PT.KEUMALA SARANA WISATA
Danau Kembar diatas dan dibawah
reginabahariindo adventures and marine tourism
Introduction about us
Archives
04/11/07
05/07/07
05/08/07
05/18/07
05/31/07
06/10/07
06/16/07
06/17/07
07/19/07
08/11/07
11/08/07
|